Monday, February 22, 2010

PENDIDIK BERWAWASAN HAK ANAK

Oleh: Suparman (Disampaikan pada Seminar Nasional “Mengkaji Batasan Kekerasan Guru terhadap Anak Didik Dalam Tinjauan Undang-Undang Perlindungan Anak “, diselenggarakan oleh Idekita FIP Universitas Negeri Jakarta, 21 Februari 2010.Penulis adalah Ketua Umum DPP Federasi Guru Independen Indonesia (DPPFGII), Koordinator Education Forum/eF).

1.Pasal 14 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya guru berhak memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan. Pasal ini pernah menuai kontroversi ketika dalam draft RUUnya pernah dimuat hak imunitas guru yang dilekatkan pada hak pemberian sanksi tersebut. Sebagai orang yang terlibat langsung sejak awal dirumuskannya RUU Guru saya menyampaikan protes karena saya nilai hak imunitas dapat dimanfaatkan secara salah untuk meneguhkan sistem pendidikan yang selama ini sering menuai kritik karena masih gencarnya tindak kekerasan di sekolah, baik yang dilakukan oleh sesama murid, masyarakat/orang tua terhadap murid, termasuk guru terhadap anak didiknya sendiri. Sampai saat ini saya pun tidak tahu siapa pihak yang mengusulkan hak imunitas tersebut. Untungnya usulan hak imunitas tersebut kemudian dihapus dan hak untuk memberi sanksi pun akhirnya dibatasi oleh ketentuan harus sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan-perundang-undangan.

2.Seiring dengan perubahan paradigma pembelajaran dari pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) menjadi berpusat pada anak (student centered) maka idealnya setiap kegiatan pembelajaran sudah didasari oleh pemahaman yang utuh tentang pentingnya hak anak (pembelajaran berwawasan hak anak). Paradigma pembelajaran ini tentunya sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). Pasal 2 UUPA menyebutkan bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. Pasal ini tentu mengasumsikan bahwa tindakan yang membelakangkan kepentingan terbaik anak, termasuk adanya tindak kekerasan terhadap anak bukan hanya dapat dilakukan oleh orang-perorang tetapi juga dapat dilakukan oleh lembaga yang disebut Negara. Kasus ujian nasional dapat menjadi contoh karena telah dinyatakan melanggar hak anak oleh pengadilan.

3.Mencermati pasal 54 UUPA yang menyebutkan bahwa Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya maka pembicaraan tentang batasan kekerasan guru terhadap anak didik menjadi tidak tepat lagi. Karena dalam konteks UUPA tidak boleh ada ruang sedikit pun bagi guru untuk melakukan tindak kekerasan dengan alasan apapun. Sebab dalam penjelasan pasal 13 UUPA tindak kekerasan dimaknai sebagai perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial. Jadi jika dikaitkan dengan hak guru untuk memberikan sanksi kepada anak didik sebagaimana diberikan UU Guru maka hak tersebut tidak boleh sampai melukai dan/atau mencederai anak baik fisik, mental maupun sosialnya. Jika anak merasa terasing dan terdiskriminasi dari lingkungannnya akibat sanksi yang diberikan oleh guru maka hal itu dapat dimaknai sebagai tindak kekerasan mental dan sosial anak.

4.Hal-hal yang menyebabkan terjadinya tindak kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak didik :
a.Harus diakui bahwa perubahan paradigma pembelajaran dari yang berpusat kepada guru menjadi berpusat pada anak umumnya masih sebatas wacana. Masih banyak kita temui pola-pola hubungan guru-murid yang dibangun dengan paradigma lama, yang menjadikan anak didik sebagai obyek otoritas guru, polanya :
Guru mengajar – Murid diajar
Guru memberi – Murid diberi
Guru segalanya – Murid bukan apa-apa
Guru menguasai – Murid dikuasai
b.Pemahaman guru yang masih minim tentang UU Perlindungan Anak dan Konvensi Internasional tentang Hak Anak;
c.Masih kuatnya kultur menerapkan disiplin terhadap anak didik dengan aturan-aturan yang kaku atau dengan tindak kekerasan mulai dari yang dianggap sederhana seperti, memarahi, menjewer sampai memukul dengan alat pendidikan seperti penggaris atau memerintahkan anak berlari keliling lapangan karena terlambat masuk sekolah, menyingkirkan anak yang dinilai “bandel” dari lingkungannya, atau mendiamkan anak yang tidak menuruti kemauan gurunya;
d.Kondisi sosial-ekonomi, jarak tempuh ke sekolah dan beban kerja yang berlebihan yang berdampak pada tekanan psikologis guru yang menyebabkan munculnya emosi berlebihan ketika mengendalikan kelas yang sedang “tidak teratur”.
e.Kebijakan makro/mikro pendidikan yang menyebabkan guru dan murid akhirnya saling menjaga jarak atau hanya dipertemukan saat kegiatan pembelajaran untuk mengejar target tertentu. Seperti sistem ujian yang mengharuskan guru menunjukkan wajah yang ditakuti oleh anak didik saat mengawasi ujian.

5.Perubahan paradigma pembelajaran harus terus dilakukan melalui berbagai pelatihan untuk guru. Selain pelatihan yang terkait dengan pengembangan metodik-didaktik, penting bagi guru untuk memperoleh pelatihan hukum dan HAM agar guru memperoleh pemahaman yang utuh tentang hak anak dan HAM, peraturan-perundang-undangan yang terkait langsung/tidak langsung dengan profesinya, sekaligus memahami hak-haknya sebagai pekerja profesi. Dengan pelatihan-pelatihan ini guru dapat mensinerginakan antara hak dengan kewajibannya sebagaimana termuat dalam UU Guru pasal 20 yang salah satunya mewajibkan guru untuk : bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru…”. Pasal ini mengajak guru untuk melihat anak sebagai subyek yang unik, yang berbeda satu dengan lainnya. Oleh karena itu dalam menerapkan metode dan sumber belajar harus berbasiskan pada keragaman anak. Itu berarti harus menerapkan sumber balajar yang beragam pula untuk anak yang beragam.

6.Faktor eksternal yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi kinerja guru seperti kesejahteraan yang tidak memadai, beban kerja yang terlalu berat, rasio kelas yang terlalu padat, sarana prasarana pendidikan yang minim mesti menjadi perhatian pemerintah/pemerintah daerah untuk diperbaiki setiap saat. Kebijakan makro pendidikan yang masih sentralistik yang menuntut kewajiban anak dan guru memenuhi target-target yang politik kekuasaan pemerintah/pemerintah daerah sudah semestinya dikaji ulang. Kebijakan makro ini tentu berdampak pada kebijakan mikro yang menjadi turunannya di sekolah-sekolah. Peraturan-peraturan disiplin yang lebih mengutamakan kepentingan sekolah/guru tanpa melibatkan anak dan orangtua akan berpotensi menjadi bentuk kekerasan yang dilakukan oleh lembaga sekolah.

7.Organisasi-organisasi profesi guru mempunyai kewajiban untuk melakukan perubahan paradigma berpikir guru dengan berbagai pelatihan guru agar para anggotanya lebih professional dalam arti yang sesungguhnya, bukan sekedar memperoleh sertifikat pendidik. Ada baiknya setiap organisasi guru juga mengeluarkan panduan ringkas tentang pembelajaran yang berperspektif anak.

8.Kurikulum di LPTK selain memuat mata kuliah wajib yang mengajarkan paradigma baru pembelajaran kepada mahasiswanya juga seharusnya di dalam mengajarkan mata kuliah pengenalan dan pemahaman hak-hak anak dengan bacaan utama UUPA dan Konvensi Hak Anak. Karena profesi guru saat ini sudah terbuka bagi semua sarjana maka kedua mata kuliah tersebut menjadi wajib diajarkan pada program-program pendidikan profesi guru. Karena kita ketahui sarjana-sarjana lulusan non-LPTK tentunya belum pernah memperoleh mata kuliah tersebut.

9.Terkait dengan hukuman fisik dalam dunia pendidikan buku Hak Atas Pendidikan yang diterbitban oleh Biro Pendidikan Wilayah Asia Pasifik UNESCO (terjemahan oleh Depdiknas) menggariskan bahwa metode-metode mengajar yang menggunakan hukuman fisik sebagai motivasi ternyata tidak cocok dengan tujuan inti pendidikan. Karena itu, proses mengeluarkan hukuman fisik dari undang-undang yang mulai tahun 1990an menggiring kepada perubahan-perubahan di seluruh dunia. Sejumlah negara yang secara hukum telah melarang hukuman fisik di sekolah, menggambarkan betapa cepat proses perubahan ini terjadi di semua wilayah di dunia. Negara-negara tersebut antara lain : Afrika Selatan, Albania, Andora, Armenia, Austria, Azerbaijan, Bahrain, Belanda, Belarus, Belgia, Bosnia dan Herzegovina, Bulgaria, Burkina Faso, China, Ciprus, Denmark, El Salvador, Eritria, Estonia, Ethiopia, Filipina, Fiji, Finlandia, Georgia, Jerman, Guinea Bissau, Honduras, Hongkong, Hongaria, Indonesia, Inggris, Iran, Irak, Irlandia, Islandia, Israel, Italia, Jepang, Kamerun, Kazakhstan, Kenya, Kolumbia, Kongo, Kosta Rika, Kroasia, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxemburg, Macedonia, Malawi, Maladewa, Malta, Mauritius, Mesir, Moldova, Monaco, Mongolia, Namibia, Norwegia, Oman, Perancis, Polandia, Portugal, Qatar, Republik Cheko, Republik Dominika, Republik Korea, Rusia, Samoa, San Marino, Selandia Baru, Serbia, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Sri Lanka, Suriname, Swedia, Switzerland, Taiwan, Thailand, Trinidad dan Tobago, Turki, Uganda, Ukraina, Uzbakistan, Yunani, Zambia, Zimbabwe.
Sumber: www.endcorporalpunishment.org January 2003.


Read More..